AKU MEMBERI NAMANYA STEVEN
“Aku tidak
tahu sejak ia menatapku rasanya ada sesuatu yang mau dikatakan padaku. Tetapi
bagaimana ya sayakan siswa baru tidak mungkinlah saya memperkenal diri
kepadanya”. Lagian masak cewek nembak duluan malu ah”. Demikian bathinku ketika
bergumul dengan kakak mentor MOS (Masa Orientasi Sekolah) saat itu. “Cindy!!
Sini.. cepetan! “Ada apa kak”. “Jangan jawab kakak seperti itu!” “Kamu masih
adik kelas baru! Belum diterima beneran di sekolah ini udah berlagak gitu!! Jawab:” SIAP Kak!!!.
Kakiku gemetaran. Rasanya ingin tanganku meninju mukanya. Semua teman satu
kelompok MOS pada bengong memandang sikapku yang tidak biasanya hari pertama di
sekolah itu. “Aduh kalau tahu begini bakalan saya ngga mau sekolah di SMA ini, kog
kakaknya seram banget”. Pikirku saat itu.
“Cie..ilee…. udah
dapat dia?” Hem… gila loe udah bisa menakluk kakak kelas ya”. Celoteh Ranty
teman dekat SMP Cindy sambil lirik ke sahabatnya bernama Steven. “Udahlah ga
usah kayak gitu ngomongnya, kasian si Cindy dong!” Bela Steven dengan penuh
perhatian.Saya teringat pengalaman sore itu. Saya pulang rumah sambil berdiam
diri. Rasanya ngga ada hati lagi di sekolah itu. Pokoknya galau bangets. Harapanku dihari ke 3
esok ggak ada lagi pengalaman seperti hari ini. Aku bosan jadi bahan tertawaan
teman-temanku. Belum lagi ejekan dari Ranty semakin lengkaplah kejengkelanku.
Untung masih ada sahabatku Steven membelaku. Tetapi aku juga aneh ya kenapa
saya lebih bersahabat dengan cowok. Pada
hal banyak teman cewek yang care dengan aku. Barang kali kehadiran si
Steven bisa mengimbangi perasaanku. Karena saya merasa betul bahwa Steven bukan
hanya sahabat tetapi boleh di katakan abang kandungku.
“Gebrak!!!...
Door!!! Saya menendang pintu kamarku sambil menutup keras-keras. “Ada apa nak!
Sahut mama dengan nada keibuan. “Enggak bu lagi kesel dengan MOS di sekolah
tuh. “Udah..udah pokoknya sabar nak! Mama juga dulu gitu kog”. “Anggaplah pengalaman MOS menguji mental kamu
supaya siap menimba ilmu di sekolah itu”. Lagian itu kan sekolah pilihanmu
bukan!” “Ya Mami.. tetapi,.. rasanya belum tiga hari seperti setahun disana lho
Mi”. Jawabku untuk membela perasaanku dengan nada ketus.
Setelah makan malam saya sejenak baring
di kursi sofa sambil membolak balik buku MOS tentang kegiatan hari ketiga.
Tiba-tiba ada nada panggilan sebanyak 3
kali. Aku takut dan mulai berpikir jangan-jangan si Tono kakak mentorku. “Aduh
terima enggak ya? Saya takut dan dari mana dia tahu nomor hand phoneku (HP). “Ya
Halo.. dengan siapa Ya?. “Aku Tono dik, kakak mentor yang dikelompokmu. Ya
kak.. sorry dari mana tahu nomor HPku ya? “Sayakan belum kasih sama kakak”.
Enggak usah tanya gitu ah pokoknya aku mau ngomong samak dik!” Boleh nggak
sih?. “Hemm silakan saja!” sahutku sambil melirik Papa dan Mama yang juga asyik
nonton TV di kamar tamu bagian dua. “Hemm… aku minta maaf sama kamu deh!” Semua
yang aku lakukan tadi siang hanya mau menyatakan “I Love You”. Aku langsung
matikan HPku dan ketakutanku semakin jadi. “Ah gila dia nih” teriakanku sambil
merebah diri di tempat tidur. Aku baru tahu ada juga tipe cowok seperti ini
kayak mahluk siluman saja dia”. Ya.. saya jawab bersedia nggak ya, jadi
pacarnya. “Ah tidak! Saya masih kelas 1 SMA lagi pula bisa saja aku terjebak
dengan aktingya tuh”. Sungguh-sungguh semakin bergulat dengan perasaan-perasaan
suramku malam itu.
Pada hari penutupan MOS saya pura-pura
diam. Pada hal dua hari sebelumnya saya semangat memberi arahan satu kelompok. “Heloo…
wouuuu si Kucing manis lagi ngelamun!”
Ejek Rina yang selalu tidak suka dengan Cindy.”Cewek sialan,kalian enggak boleh
sikap kayak gitu denganya! “Biarkan dia berdiam diri dog! “Mungkin dia
capeklah! “ Atau kalau dia mau berdiam diri apa urusan dengan loe! “Berengsenk
urus aja dirimu! “Hari gini sukanya provokator dengan pribadi orang! Lagi-lagi
bela si Steven semakin meneguhkan bahwa dialah sahabat sejatiku yang setia
menemani aku setiap mengalami kesulitan. Aku pun tidak mau membalas teman-teman
yang mengejekku. Anggaplah mereka sebagai tantangan sekaligus ingin belajar
karakter teman yang berasal dari SMP yang berbeda. Semoga saya dapat satu kelas
dengan mereka di SMA. Supaya saya mengajar dia arti sahabat sejati dalam hidup
ini.
Malam pemilihan King dan Quint (Raja
dan Ratu) Mos 2015 adalah moment yang pas untuk menunjukkan keberadaan diri
saya di hadapan 500 teman baruku. Ketika namaku disebut sebagai Quint, mataku
berbinar-binar dan Rajanya adalah Steven sahabat sejatiku. Semua mata dari
dewan guru,Panitia Mos dan teman-teman terheran-heran melihat pola tingkah laku
kami di hadapan mereka. Saya berbisik pada telinga sahabatku. “Steven, kita
aksinya harus romantis ya, saya mau mengajar kakak mentor yang suka ngerjain
aku selama MOS ya? Sahabatku sangat setuju. Malam itu kami mengeliling api
unggun diringin music seperti di Film
“Titanic. Saya menatap Tono dan rupanya sakit hati akan aktingku malam itu.
Steven sahabatku mengerti akan situasi tersebut. Dan aku berhasil. Steven
menggendong saya tinggi-tinggi setelah itu mencium keningku sambil menyerahkan
setangkai bunga mawar. Tepukan tangan meriah gegap gempita hingga tiada henti-hentinya
pujian malam itu.”Siswa-siswa sekalian! “Saya kagum malam ini, karena Cindy dan
Steven siswa baru dapat mengubah situasi malam ini menjadi kenangan yang indah.”
“Saya percaya mereka bukan soal jatuh cinta tetapi ada seni dalam diri berdua
bahwa di SMA ini mereka membuka pikiran dan wawasan kita untuk tidak kaku dalam
bersahabat”. Sambutan kepala sekolah gaul itu semakin mengiris perasaan Tono.
Hari pertama sekolah, aku semangat
sekali untuk melihat kelasku. Aku tidak takut lagi dengan siapa saja. Modal
keberanianku sudah ada sejak terpilih menjadi Ratu MOS. Aku menunjukan kepada
sekolah bahwa di sini tidak ada junior dan senior. Tidak ada yang kaya dan miskin. Tidak ada yang
pintar dan bodoh. Semua hebat dan cerdas. Asal kita mau tekun belajar dan
berinovatif. Kita sama-sama meraih impian yang sama. Satu hati wujudkan sekolah yang berprestasi baik dalam akademik
maupun non akademik dan tidak ada lagi musuh di antara kita.
Satu tahun tidak
terasa dan saya juga senang sekali karena bisa mendapat juara umum. Asyiknya
juga karena mendapat beasiswa penuh. Sekolah ini memang impian semua remaja.
Semua siswa wajib mengikuti kegiatan ekskul sesuai bakat dan kemampuan
masing-masing. Saya suka di bidang ekskul foto grafi dan Perfilman. Ini
pengalaman di sekolah indah “ Very nice man! Namun saya seperti ruang hampa di rumah. Orang
tuaku tidak pernah memberi semangat dalam hidupku. Yang ada adalah omelan
melulu. Saya tidak habis pikir kenapa papa dan mama selalu mencurigai saya
setiap kali mengikuti kegiatan di sekolah hingga malam hari. Pada hal saya sudah memberi alasan jelas bahwa saya
termasuk pengurus OSIS. Kalau soal pacaran dengan Tono saya sudah terbuka
dengan papa dan mama bahwa kami sebatas pacarab saja, tidak lebih dari itu.
Titik. “Uh… sebel deh orang tua kayak
gini”. Betul-betul enggak ngerti dengan perasaanku”. Usilku alam hati, setiap
kali dimarahi oleh mereka berdua di rumah. Aku iri dengan orang tua temanku
yang selalu member pencerahan bagi anaknya.
Selama pacaran dengan Tono saya selalu
menolak hangout dimalam minggu. Apa lagi ke Mall saya suka Hiking, potret alam
dan membuat perfilman documenter. Sayangnya hoby Tono hanya menonton di Bioskop
melulu. “Bang.. kan udah kelas XII, boleh enggak kita putus sementara hubungan
kita. “Aku tidak mau abang gagal dalam cita-cita nih” Rupanya kekuatan
kata-kataku membuat dia tertegun dan memang akhirnya dia lulus dengan
memuaskan. Pengalaman berpacaran denganya sangat dingin. Aku juga mengakui hal
itu. Masalahnya Papa dan mama selalu mengawasiku setiap saat. Bahkan sekali
saya marah adik lakiku disekolah bak Polisi Intel melihat jalan berdua dengan
Tono. “Yahhhh kita buktikan apakah aku berpacaran kelewatan sampai prestasiku
turun enggak sih?” Aku sungguh tersiksa dengan sikap kedua orang tuaku. Untung
ada sobat Steven selalu memberi pencerahan kepada ku agar aku tetap sabar dan
taat pada nasehat orang tua. “ Ven kita bukan anak kecil lagi! “ Masak
nasehatya kayak zaman Siti Nurbaya saja sih”. Itulah kata-kata terakhirku
sebelum berpisah dari sekolah tersebut.
Tidak terasa ketika tamat SMA aku
harus memikirkan ke jenjang Peguruan Tinggi. Aku memilih Universitas ternama di
Jakarta. Saya bukan mengejar Tono lagi pula saya tidak berpacaran dengan dia
lagi. Orang tuaku tidak melarang saya keluar dari daerah Kalimantan. Asalkan
saya bisa bertanggungjawab atas pilihanku. Aku merasa bahwa kuliah di perguruan
tinggi harus kreatif. Jurusanku memang agak unik yaitu manajemen Internasional.
Selama kuliah tidak ada hambatan baik soal biaya maupun prestasi di kampus.
Cuma saya berperang bathin! Mengapa orang tuaku mengirim uang tetapi jarang
mengangkat telponku jika ingin mengabarkan situasi saya dan tentang keadaan mereka.
Saya tahu mereka siang malam sibuk memperhatikan restoran ternama di kota
kelahiranku. Aduh… apakah aku ini anak kandung mereka ga sih? Gumulku disetiap
kali sebelum tidur dimalam hari. Pada semester VIII aku dan teman-teman selama
6 bulan mengadakan KKN (Kerja Kuliah Nyata). Aku mendapat di perusahan Jepang
dibidang Marketing Produk Sambal ekspor Asia Tenggara. Aku senang karena Manajer
menempatku bagian database input dan output barang prodak. Setiap hari mengotak atik komupter di ruang paling istimewa bersamanya.
Suatu hari laptopku kena virus dan
rupanya dia dengan rela memperbaikinya. “Enggak usah Pa saya ada teman di Toko
Komputer kog”. Enggak apa-apa!” Saya juga
bisa kog! Sahut Pa Teddy dengan tegas. Aku tahu Pa Teddy memang
background Teknik Informatika. Setiap kali menatap dengannya selalu ada
pertanyaan yang aneh dalam bathinku. Aku mulai takut dan selalu ingat pesan
kedua orang tuaku. Aku tidak mau mengalami yang aneh dalam hidupku. Suatu hari
aku terjebak dalam pesta HUTku. Dia memberi aku perhiasan yang sangat menggodai saya untuk
memakainya. Hadiah ini berupa kalung emas seharga 150 Dollar Singapura.
Aku berpikran positif saja. Rupanya
pemberian hadianya hanya mau merebut
hatiku. “Tuhan janganlah ini terjadi padaku!. Aku mulai takut karena
tinggal 2 minggu aku selesai daritempat
KKN. “Aduh aku menyesal selama ini saya terlalu mengandalkan kemampuanku”. “Kenapa
baru sekarang ingat Tuhan”. “Saya hidup sia-sia! “Papa Mama mendidiku secara
Kristiani dalam keluarga akhirnya juga digagalkan oleh kuasa diriku yang tidak
teratur!. Hatiku seperti tikaman maut disenja itu. Setiap kali aku menelpon
mereka selalu bilang sibuk menyetor uang di Bank. Aku tidak berdaya sudah
terperangkap di hati Pa Teddy. Aku tahu, dia sudah beristri dan punya 1 anak.
Mengapa saya tidak berontak di kala itu. “Tidak… tidak.. aku mau bunuh diri
saja!. Tidak ada guna saya hidup seperti ini. “ Tuhan di mana Engkau berada?
“Aku mencari wajahMu lewat orang sekitarku!. Aku ingin sekali sentuhan Kasih
SejatiMu Tuhan! “Hidupku seperti di padang gurun Ethiopia”. “Aku haus dan haus
kasih cinta-Mu Tuhan!. Omelanku semakin menjadi ketika jam 12 malam, dan
seolah-olah Tuhan tidak ada di hidupku.
Suatu hari saya stress di Apartemen
tiba-tiba deringan HPku menggoda untuk menjawab. Aku trauma pengalaman seperti
di SMA dulu. Rupanya suaranya aku hafal yaitu sahabatku Steven. Selama satu jam
aku menceritakan semua pengalaman pergumulanku. Steven begitu bijaksana bahwa
jangan apa-apakan bayi yang ada dalam
rahimku. “Cindy dia tidak bersalah, Ia butuh seorang ibu! “Kamulah orangnya! “Dia
butuh kehidupan sejati!. Dia titipan Tuhan Cindy! “Kamu tidak sendirian, saya
siap membantumu!. “Saya lagi di Amerika ada seminar tentang penentang Aborsi”. “Kamu
akan menjadi nara sumberku agar aku tesisku semakin dipercaya oleh dosen
pengujiku. “Aku tidak siap Steven! “Aku malu dengan orang tuaku! Tidak.. saya
harus gugurkan bayi ini” Ini bukan anak saya!
Aku tiap hari
berkonsultasi dengan dokter, namun dokter mengatakan untuk menghabiskan bayi
ini akan terjadi fatal buat hidupnya. Karena dia sudah sempurna dan lengkap.
“Kamu harus siap menerima diri dan menjadi ibu tanpa Seorang Ayah. Pada hari
berikutnya, tibalah Steven sahabatku. Aku di bawahnya ke psyisikater untuk konsultasi
tentang peneriman kerapuhan diri. Akhirnya
aku mengambil keputusan untuk mondok di panti susteran Nirmala Jakarta. Di sini
saya bahagia sekali karena berkumpul dengan wanita muda yang mengalami nasib
sama. Tiap hari kami diberi materi cara mengelola penerimaan diri dengan benar.
Saatnya waktu bagiku menerima semuanya itu sebagai pelajaran bagiku. Aku tidak
mempersalahkan siapa-siapa. Aku tidak mempersalahkan kedua orang tuaku. Aku
harus menerima resiko atas egoisku selama ini yang suka melawan orang tua.
Akhirnya untuk mengenang kebaikan sahabatku, aku memberi namanya Steven. Anaku bertumbuh besar hingga
ia bisa menerima diri tanpa Ayah. 25 tahun kemudian ia menjadi seorang Imam
tanpa Ayah. (Bruf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar