Senin, 02 Maret 2015

Cerpen 03



AKU MEMBERI NAMANYA STEVEN
“Aku tidak tahu sejak ia menatapku rasanya ada sesuatu yang mau dikatakan padaku. Tetapi bagaimana ya sayakan siswa baru tidak mungkinlah saya memperkenal diri kepadanya”. Lagian masak cewek nembak duluan malu ah”. Demikian bathinku ketika bergumul dengan kakak mentor MOS (Masa Orientasi Sekolah) saat itu. “Cindy!! Sini.. cepetan! “Ada apa kak”. “Jangan jawab kakak seperti itu!” “Kamu masih adik kelas baru! Belum diterima beneran di sekolah ini  udah berlagak gitu!! Jawab:” SIAP Kak!!!. Kakiku gemetaran. Rasanya ingin tanganku meninju mukanya. Semua teman satu kelompok MOS pada bengong memandang sikapku yang tidak biasanya hari pertama di sekolah itu. “Aduh kalau tahu begini bakalan saya ngga mau sekolah di SMA ini, kog kakaknya seram banget”. Pikirku saat itu.
“Cie..ilee…. udah dapat dia?” Hem… gila loe udah bisa menakluk kakak kelas ya”. Celoteh Ranty teman dekat SMP Cindy sambil lirik ke sahabatnya bernama Steven. “Udahlah ga usah kayak gitu ngomongnya, kasian si Cindy dong!” Bela Steven dengan penuh perhatian.Saya teringat pengalaman sore itu. Saya pulang rumah sambil berdiam diri. Rasanya ngga ada hati lagi di sekolah itu.  Pokoknya galau bangets. Harapanku dihari ke 3 esok ggak ada lagi pengalaman seperti hari ini. Aku bosan jadi bahan tertawaan teman-temanku. Belum lagi ejekan dari Ranty semakin lengkaplah kejengkelanku. Untung masih ada sahabatku Steven membelaku. Tetapi aku juga aneh ya kenapa saya lebih bersahabat dengan cowok. Pada  hal banyak teman cewek yang care dengan aku. Barang kali kehadiran si Steven bisa mengimbangi perasaanku. Karena saya merasa betul bahwa Steven bukan hanya sahabat tetapi boleh di katakan abang kandungku.
“Gebrak!!!... Door!!! Saya menendang pintu kamarku sambil menutup keras-keras. “Ada apa nak! Sahut mama dengan nada keibuan. “Enggak bu lagi kesel dengan MOS di sekolah tuh. “Udah..udah pokoknya sabar nak! Mama juga dulu gitu kog”.  “Anggaplah pengalaman MOS menguji mental kamu supaya siap menimba ilmu di sekolah itu”. Lagian itu kan sekolah pilihanmu bukan!” “Ya Mami.. tetapi,.. rasanya belum tiga hari seperti setahun disana lho Mi”. Jawabku untuk membela perasaanku dengan nada ketus.
          Setelah makan malam saya sejenak baring di kursi sofa sambil membolak balik buku MOS tentang kegiatan hari ketiga. Tiba-tiba  ada nada panggilan sebanyak 3 kali. Aku takut dan mulai berpikir jangan-jangan si Tono kakak mentorku. “Aduh terima enggak ya? Saya takut dan dari mana dia tahu nomor hand phoneku (HP). “Ya Halo.. dengan siapa Ya?. “Aku Tono dik, kakak mentor yang dikelompokmu. Ya kak.. sorry dari mana tahu nomor HPku ya? “Sayakan belum kasih sama kakak”. Enggak usah tanya gitu ah pokoknya aku mau ngomong samak dik!” Boleh nggak sih?. “Hemm silakan saja!” sahutku sambil melirik Papa dan Mama yang juga asyik nonton TV di kamar tamu bagian dua. “Hemm… aku minta maaf sama kamu deh!” Semua yang aku lakukan tadi siang hanya mau menyatakan “I Love You”. Aku langsung matikan HPku dan ketakutanku semakin jadi. “Ah gila dia nih” teriakanku sambil merebah diri di tempat tidur. Aku baru tahu ada juga tipe cowok seperti ini kayak mahluk siluman saja dia”. Ya.. saya jawab bersedia nggak ya, jadi pacarnya. “Ah tidak! Saya masih kelas 1 SMA lagi pula bisa saja aku terjebak dengan aktingya tuh”. Sungguh-sungguh  semakin bergulat dengan perasaan-perasaan suramku malam itu.
          Pada hari penutupan MOS saya pura-pura diam. Pada hal dua hari sebelumnya saya  semangat memberi arahan satu kelompok. “Heloo… wouuuu si Kucing manis lagi  ngelamun!” Ejek Rina yang selalu tidak suka dengan Cindy.”Cewek sialan,kalian enggak boleh sikap kayak gitu denganya! “Biarkan dia berdiam diri dog! “Mungkin dia capeklah! “ Atau kalau dia mau berdiam diri apa urusan dengan loe! “Berengsenk urus aja dirimu! “Hari gini sukanya provokator dengan pribadi orang! Lagi-lagi bela si Steven semakin meneguhkan bahwa dialah sahabat sejatiku yang setia menemani aku setiap mengalami kesulitan. Aku pun tidak mau membalas teman-teman yang mengejekku. Anggaplah mereka sebagai tantangan sekaligus ingin belajar karakter teman yang berasal dari SMP yang berbeda. Semoga saya dapat satu kelas dengan mereka di SMA. Supaya saya mengajar dia arti sahabat sejati dalam hidup ini.
          Malam pemilihan King dan Quint (Raja dan Ratu) Mos 2015 adalah moment yang pas untuk menunjukkan keberadaan diri saya di hadapan 500 teman baruku. Ketika namaku disebut sebagai Quint, mataku berbinar-binar dan Rajanya adalah Steven sahabat sejatiku. Semua mata dari dewan guru,Panitia Mos dan teman-teman terheran-heran melihat pola tingkah laku kami di hadapan mereka. Saya berbisik pada telinga sahabatku. “Steven, kita aksinya harus romantis ya, saya mau mengajar kakak mentor yang suka ngerjain aku selama MOS ya? Sahabatku sangat setuju. Malam itu kami mengeliling api unggun diringin music  seperti di Film “Titanic. Saya menatap Tono dan rupanya sakit hati akan aktingku malam itu. Steven sahabatku mengerti akan situasi tersebut. Dan aku berhasil. Steven menggendong saya tinggi-tinggi setelah itu mencium keningku sambil menyerahkan setangkai bunga mawar. Tepukan tangan meriah  gegap gempita hingga tiada henti-hentinya pujian malam itu.”Siswa-siswa sekalian! “Saya kagum malam ini, karena Cindy dan Steven siswa baru dapat mengubah situasi malam ini menjadi kenangan yang indah.” “Saya percaya mereka bukan soal jatuh cinta tetapi ada seni dalam diri berdua bahwa di SMA ini mereka membuka pikiran dan wawasan kita untuk tidak kaku dalam bersahabat”. Sambutan kepala sekolah gaul itu semakin mengiris perasaan Tono.
          Hari pertama sekolah, aku semangat sekali untuk melihat kelasku. Aku tidak takut lagi dengan siapa saja. Modal keberanianku sudah ada sejak terpilih menjadi Ratu MOS. Aku menunjukan kepada sekolah bahwa di sini tidak ada junior dan senior.  Tidak ada yang kaya dan miskin. Tidak ada yang pintar dan bodoh. Semua hebat dan cerdas. Asal kita mau tekun belajar dan berinovatif. Kita sama-sama meraih impian yang sama. Satu hati wujudkan  sekolah yang berprestasi baik dalam akademik maupun non akademik dan tidak ada lagi musuh di antara kita.
Satu tahun tidak terasa dan saya juga senang sekali karena bisa mendapat juara umum. Asyiknya juga karena mendapat beasiswa penuh. Sekolah ini memang impian semua remaja. Semua siswa wajib mengikuti kegiatan ekskul sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Saya suka di bidang ekskul foto grafi dan Perfilman. Ini pengalaman di sekolah indah “ Very nice man!  Namun saya seperti ruang hampa di rumah. Orang tuaku tidak pernah memberi semangat dalam hidupku. Yang ada adalah omelan melulu. Saya tidak habis pikir kenapa papa dan mama selalu mencurigai saya setiap kali mengikuti kegiatan di sekolah hingga malam hari. Pada hal  saya sudah memberi alasan jelas bahwa saya termasuk pengurus OSIS. Kalau soal pacaran dengan Tono saya sudah terbuka dengan papa dan mama bahwa kami sebatas pacarab saja, tidak lebih dari itu. Titik.  “Uh… sebel deh orang tua kayak gini”. Betul-betul enggak ngerti dengan perasaanku”. Usilku alam hati, setiap kali dimarahi oleh mereka berdua di rumah. Aku iri dengan orang tua temanku yang selalu member pencerahan bagi anaknya.
          Selama pacaran dengan Tono saya selalu menolak hangout dimalam minggu. Apa lagi ke Mall saya suka Hiking, potret alam dan membuat perfilman documenter. Sayangnya hoby Tono hanya menonton di Bioskop melulu. “Bang.. kan udah kelas XII, boleh enggak kita putus sementara hubungan kita. “Aku tidak mau abang gagal dalam cita-cita nih” Rupanya kekuatan kata-kataku membuat dia tertegun dan memang akhirnya dia lulus dengan memuaskan. Pengalaman berpacaran denganya sangat dingin. Aku juga mengakui hal itu. Masalahnya Papa dan mama selalu mengawasiku setiap saat. Bahkan sekali saya marah adik lakiku disekolah bak Polisi Intel melihat jalan berdua dengan Tono. “Yahhhh kita buktikan apakah aku berpacaran kelewatan sampai prestasiku turun enggak sih?” Aku sungguh tersiksa dengan sikap kedua orang tuaku. Untung ada sobat Steven selalu memberi pencerahan kepada ku agar aku tetap sabar dan taat pada nasehat orang tua. “ Ven kita bukan anak kecil lagi! “ Masak nasehatya kayak zaman Siti Nurbaya saja sih”. Itulah kata-kata terakhirku sebelum berpisah dari sekolah tersebut.
          Tidak terasa ketika tamat SMA aku harus memikirkan ke jenjang Peguruan Tinggi. Aku memilih Universitas ternama di Jakarta. Saya bukan mengejar Tono lagi pula saya tidak berpacaran dengan dia lagi. Orang tuaku tidak melarang saya keluar dari daerah Kalimantan. Asalkan saya bisa bertanggungjawab atas pilihanku. Aku merasa bahwa kuliah di perguruan tinggi harus kreatif. Jurusanku memang agak unik yaitu manajemen Internasional. Selama kuliah tidak ada hambatan baik soal biaya maupun prestasi di kampus. Cuma saya berperang bathin! Mengapa orang tuaku mengirim uang tetapi jarang mengangkat telponku jika ingin mengabarkan situasi saya dan tentang keadaan mereka. Saya tahu mereka siang malam sibuk memperhatikan restoran ternama di kota kelahiranku. Aduh… apakah aku ini anak kandung mereka ga sih? Gumulku disetiap kali sebelum tidur dimalam hari. Pada semester VIII aku dan teman-teman selama 6 bulan mengadakan KKN (Kerja Kuliah Nyata). Aku mendapat di perusahan Jepang dibidang Marketing Produk Sambal ekspor Asia Tenggara. Aku senang karena Manajer menempatku bagian database input dan output  barang prodak. Setiap hari mengotak atik  komupter di ruang paling istimewa bersamanya.
          Suatu hari laptopku kena virus dan rupanya dia dengan rela memperbaikinya. “Enggak usah Pa saya ada teman di Toko Komputer kog”. Enggak apa-apa!” Saya juga  bisa kog! Sahut Pa Teddy dengan tegas. Aku tahu Pa Teddy memang background Teknik Informatika. Setiap kali menatap dengannya selalu ada pertanyaan yang aneh dalam bathinku. Aku mulai takut dan selalu ingat pesan kedua orang tuaku. Aku tidak mau mengalami yang aneh dalam hidupku. Suatu hari aku terjebak dalam pesta HUTku. Dia memberi aku  perhiasan yang sangat menggodai saya untuk memakainya. Hadiah ini berupa kalung emas seharga 150 Dollar Singapura. Aku  berpikran positif saja. Rupanya pemberian hadianya  hanya mau merebut hatiku. “Tuhan janganlah ini terjadi padaku!. Aku mulai takut karena tinggal  2 minggu aku selesai daritempat KKN. “Aduh aku menyesal selama ini saya terlalu mengandalkan kemampuanku”. “Kenapa baru sekarang ingat Tuhan”. “Saya hidup sia-sia! “Papa Mama mendidiku secara Kristiani dalam keluarga akhirnya juga digagalkan oleh kuasa diriku yang tidak teratur!. Hatiku seperti tikaman maut disenja itu. Setiap kali aku menelpon mereka selalu bilang sibuk menyetor uang di Bank. Aku tidak berdaya sudah terperangkap di hati Pa Teddy. Aku tahu, dia sudah beristri dan punya 1 anak. Mengapa saya tidak berontak di kala itu. “Tidak… tidak.. aku mau bunuh diri saja!. Tidak ada guna saya hidup seperti ini. “ Tuhan di mana Engkau berada? “Aku mencari wajahMu lewat orang sekitarku!. Aku ingin sekali sentuhan Kasih SejatiMu Tuhan! “Hidupku seperti di padang gurun Ethiopia”. “Aku haus dan haus kasih cinta-Mu Tuhan!. Omelanku semakin menjadi ketika jam 12 malam, dan seolah-olah Tuhan tidak ada di hidupku.
          Suatu hari saya stress di Apartemen tiba-tiba deringan HPku menggoda untuk menjawab. Aku trauma pengalaman seperti di SMA dulu. Rupanya suaranya aku hafal yaitu sahabatku Steven. Selama satu jam aku menceritakan semua pengalaman pergumulanku. Steven begitu bijaksana bahwa jangan apa-apakan bayi  yang ada dalam rahimku. “Cindy dia tidak bersalah, Ia butuh seorang ibu! “Kamulah orangnya! “Dia butuh kehidupan sejati!. Dia titipan Tuhan Cindy! “Kamu tidak sendirian, saya siap membantumu!. “Saya lagi di Amerika ada seminar tentang penentang Aborsi”. “Kamu akan menjadi nara sumberku agar aku tesisku semakin dipercaya oleh dosen pengujiku. “Aku tidak siap Steven! “Aku malu dengan orang tuaku! Tidak.. saya harus gugurkan bayi ini” Ini bukan anak saya!
Aku tiap hari berkonsultasi dengan dokter, namun dokter mengatakan untuk menghabiskan bayi ini akan terjadi fatal buat hidupnya. Karena dia sudah sempurna dan lengkap. “Kamu harus siap menerima diri dan menjadi ibu tanpa Seorang Ayah. Pada hari berikutnya, tibalah Steven sahabatku. Aku di bawahnya ke psyisikater untuk konsultasi tentang peneriman kerapuhan diri.  Akhirnya aku mengambil keputusan untuk mondok di panti susteran Nirmala Jakarta. Di sini saya bahagia sekali karena berkumpul dengan wanita muda yang mengalami nasib sama. Tiap hari kami diberi materi cara mengelola penerimaan diri dengan benar. Saatnya waktu bagiku menerima semuanya itu sebagai pelajaran bagiku. Aku tidak mempersalahkan siapa-siapa. Aku tidak mempersalahkan kedua orang tuaku. Aku harus menerima resiko atas egoisku selama ini yang suka melawan orang tua. Akhirnya untuk mengenang kebaikan sahabatku, aku memberi  namanya Steven. Anaku bertumbuh besar hingga ia bisa menerima diri tanpa Ayah. 25 tahun kemudian ia menjadi seorang Imam tanpa Ayah. (Bruf)

         
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar